26-28. Jeleknya Bertetangga, Orang Tua Berlagak Seperti Anak Muda
TANDA-TANDA KECIL KIAMAT
Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil
26. MERAJALELANYA PERBUATAN KEJI, PEMUTUSAN SILATURAHMI DAN JELEKNYA HUBUNGAN BERTETANGGA
Al-Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَظْهَرَ الْفَحْشُ وَالتَّفَاحُشُ وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ وَسُوءُ الْمُجَاوَرَةِ.
“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga banyak perbuatan dan perkataan keji, pemutusan silaturahmi, dan jeleknya hubungan bertetangga.”[1]
Ath-Thabrani meriwayatkan dalam al-Ausath dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ: اَلْفَحْشُ وَالتَّفَحُّشُ وَقَطِيْعَةُ الرَّحْمِ.
‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah perbuatan dan perkataan yang keji (kotor), serta pemutusan silaturahmi.” [2]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ… وَقَطْعُ اْلأَرْحَامِ.
“Sesungguhnya menjelang terjadinya Kiamat… dan pemutusan silaturahmi.” [3]
Apa-apa yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam telah terjadi, kekejian menyebar di sebagian besar kalangan manusia, mereka tidak peduli terhadap perkataan yang mengandung dosa yang mereka ucapkan, juga tidak peduli terhadap akibat (siksa) yang sangat pedih atas perbuatan tersebut. Hubungan kekerabatan diputuskan, seseorang tidak menjalin kekerabatan dengan kerabatnya. Bahkan di antara mereka terjadi saling memutuskan silaturahmi dan saling memusuhi, hal itu terus-menerus terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sementara mereka berada di satu daerah. Mereka tidak saling mengunjungi dan tidak saling menjalin kekerabatan. Tidak diragukan bahwa hal ini disebabkan lemahnya keimanan. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam mendorong umatnya untuk saling menjalin hubungan silaturahmi dan memberikan peringatan agar tidak memutuskannya.
Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ، حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ، قَامَتِ الرَّحِمُ، فَقَالَتْ: هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنَ الْقَطِيعَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ، وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى. قَالَ فَذَاكِ لَكِ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْأُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, hingga ketika selesai dari (menciptakan) mereka, rahim (kekerabatan) berdiri seraya bertanya, ‘Apakah ini tempat orang yang berlindung kepada-Mu dari memutus-kan (hubungan silaturahmi)?’ Allah menjawab, ‘Betul, senangkah engkau jika Aku berbuat baik kepada orang yang menghubungkanmu dan jika Aku berbuat tidak baik kepada orang yang memutuskanmu?’ Rahim berkata, ‘Tentu saja.’ Allah berkata, ‘Itulah bagianmu.’” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mau bacalah (firman Allah): ‘Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah, lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. Maka tidakkah mereka menghayati al-Qur-an ataukah hati mereka sudah terkunci?’ [Muhammad: 22-24]” [4]
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ.
“Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan silaturahmi.” [5]
Adapun tentang jeleknya hubungan bertetangga (maka sangat penting untuk kita bicarakan). Betapa banyak seseorang yang tidak mengenal tetangganya sendiri, tidak pernah memperhatikan keadaannya untuk memberikan bantuan ketika ia membutuhkan! Bahkan sebaliknya dia selalu mengganggunya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyakiti tetangga. Beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya.”[6]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar berbuat baik kepada tetangga. Beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka berbuat baiklah kepada tetangganya.”[7]
Dan Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوْصِيْنِي بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.
“Senantiasa Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku mengira bahwa dia membawa perintah (dari) Allah untuk menjadikannya sebagai ahli waris.”[8]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Musnad Ahmad (X/26-31, Syarah Ahmad Syakir), beliau berkata, “Isnadnya shahih,” dan beliau menuturkan riwayat al-Hakim dan menjelaskannya dengan gamblang.
Lihat Mustadrak al-Hakim (I/75-76), beliau telah meriwayatkannya dengan tiga sanad. Beliau ber-kata, “Ini adalah hadits shahih, dan asy-Syaikhani telah bersepakat untuk menjadikan semua perawi-nya sebagai hujjah, selain Abu Sabrah al-Hadzali, ia adalah tokoh Tabi’in, dan beliau menyebutkannya di dalam kitab-kitab Musnad juga Tarikh bahwa dia tidak tercela.” Dan beliau mengungkapkan syahid (penguat) baginya. Adz-Dzahabi menyepakati beliau dalam menshahihkannya.
[2]. Maj’mauz Zawaa-id (VII/284), al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah tsiqah,” dan sebagiannya diperdebatkan, sementara hadits-hadits yang diungkapkan menjadi penguat baginya.
[3]. Musnad Ahmad (V/333, Syarah Ahmad Syakir), beliau berkata, “Sanadnya shahih.”
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab, bab Shilaturrahim wa Tahriimi Qath’ihaa (XVI/112, Syarh an-Nawawi).
[5]. Shahiih Muslim (XVI/114, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab al-Hatstsu ‘alaa Ikraamil Jaar wadh Dha’iif (II/20, Syarh an-Nawawi).
[7]. Ibid.
[8]. Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab, bab ash-Shilatu bil Jaar wal Ihsaan ilaihi (XVI/176, Syarh an-Nawawi).
27. ORANG TUA BERLAGAK SEPERTI ANAK MUDA
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa allam bersabda:
يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ، كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ، لاَ يَرِيْحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.
‘Akan ada di akhir zaman satu kaum yang menyemir rambut mereka dengan warna hitam bagaikan dada burung merpati, mereka tidak akan pernah mencium harumnya Surga.’” [1]
Apa yang diungkapkan dalam hadits di atas telah terjadi pada zaman sekarang ini. Telah tersebar di antara kaum pria, mereka menyemir jenggot juga rambut mereka dengan warna hitam.
Yang nampak bagi kami -wallaahu a’lam- sesungguhnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ (seperti dada burung merpati) adalah serupa dengan keadaan sebagian kaum muslimin pada zaman sekarang ini. Anda bisa mendapati mereka, memperlakukan jenggot mereka seperti keadaan dada burung dara. Mereka mencukur sisinya dan membiarkan yang ada di bawah dagunya, kemudian menyemirnya dengan warna hitam sehingga jadilah ia seperti dada-dada burung dara.
Ibnul Jauzi[2] rahimahullah berkata, “Bisa jadi bahwa makna tidak mencium wanginya Surga karena perbuatan yang mereka lakukan, atau karena keyakinan dan bukan karena semata-mata memakai semir rambut. Bisa jadi semir rambut itu menjadi ciri bagi mereka sebagaimana ciri kaum Khawarij adalah membotaki rambut, walaupun pada dasarnya membotaki rambut bukanlah sesuatu yang diharamkan.” [3]
Kami katakan: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyemir rambut dan jenggot dengan warna hitam. Dijelaskan dalam ash-Shahiih dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
أُتِيَ بِأَبِي قُحَافَةَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.
“Abu Quhafah didatangkan pada hari penaklukan Makkah dengan rambut dan jenggot yang berwarna putih seperti pohon ats-tsaghamah[4], lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ubahlah (uban) ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam!’”[5]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Musnad Imam Ahmad (IV/156, no. 247), tahqiq dan syarah Ahmad Syakir, beliau berkata, “Shahih.”
Sunan Abi Dawud, kitab at-Tarajjul, bab Ma Jaa-a fii Khudhaabis Sawaad (XI/ 266, ‘Aunul Ma’buud).
Ibnu Hajar berkata, “Isnadnya kuat, hanya saja ada perbedaan, apakah hadits ini mauquf atau marfu, lalu walaupun kita mengatakan bahwa hadits ini mauquf, maka hadits seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan pendapat sehingga hukumnya adalah marfu’ (Fat-hul Baari VI/499).
Al-Albani berkata, “Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, Ahmad, adh-Dhiya’ dalam kitab al-Mukhtaarah juga yang lainnya yang tidak mungkin diungkapkan… dengan sanad yang shahih me-nurut syarat asy-Syaikhani.”
Lihat kitab Ghaayatul Maraam fi Takhriiji Ahaadiitsil Halaal wal Haraam (hal. 84), cet. al-Maktab al-Islami, cet. pertama (1400).
Hadits ini diungkapkan pula oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab al-Maudhu’aat (III/55), beliau meng-ungkapkan bahwa yang muttaham adalah ‘Abdul Karim bin Abil Mukhariq, dia adalah matruk (di-tinggalkan haditsnya).
Ibnu Hajar membantah, beliau berkata, “Beliau salah dalam masalah itu, karena sesungguhnya hadits yang datang dari riwayat ‘Abdul Karim al-Jazari at-Tsiqah dijadikan perawi di dalam kitab ash-Shahiih.
Kemudian beliau menuturkan para perawi hadits tersebut, lihat kitab al-Qaulul Musaddad (hal. 48-49) karya Ibnu Hajar.
Ibnu Jauzi diikuti pendapatnya oleh asy-Syaukani dalam masalah itu, beliau berkata dalam kitab al-Fawaa-idul Majmuu’ah, “Al-Quzwaini berkata, ‘Hadits maudhu’.’ Al-Fawaa-idul Majmuu’ah fil Ahaadiitsil Maudhuu’ah (hal. 510 no. 1420) dengan tahqiq ‘Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi, cet. II th. 1392 H, Beirut.
[2]. Beliau adalah al-Allamah Abul Faraj ‘Abdurrahman bin ‘Ali al-Jauzi al-Qurasy al-Baghdadi al-Hanbali, pengarang karya-karya tulis besar yang mencapai tiga ratus karya tulis dalam bidang hadits, nasihat, tafsir, sejarah dan yang lainnya. Wafat pada tahun 597 H.
Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/28-30), dan Muqaddimah kitab al-Maudhuu’aat (I/ 21-226) karya ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman, disebar luaskan oleh Muhammad ‘Abdul Muhsin, cet. I th. 1386 H.
[3]. Al-Maudhuu’aat (III/55), karya Ibnul Jauzi.
Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah sesungguhnya sekelompok Sahabat dan Tabi’in pernah menyemir rambut mereka. Di antara mereka adalah: al-Hasan, al-Husain, Sa’d bin Abi Waqqas, demikian pula banyak dari kalangan Tabi’in yang membotaki rambut mereka. Sebagian memakruhkannya hanya karena di dalamnya ada unsur penyamaran. Adapun jika mencapai derajat haram ketika tidak ada unsur penyamaran, maka pendapat ini perlu mendapat peringatan. Tidak ada seorang pun yang berpendapat demikian.” (Al-Maudhu’aat III/55).
An-Nawawi berkata, “Diharamkan memakai semir rambut berwarna hitam menurut pendapat yang paling benar, ada juga yang mengatakan hukumnya makruh tanzih, dan pendapat yang paling tepat adalah haram, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ.
‘Dan jauhilah warna hitam!’”
(Syarh Muslim XIV/80).
Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab al-Khidhaab dari az-Zuhri, beliau berkata, “Dahulu kami menyemir rambut dengan warna hitam ketika wajah masih cerah (muda) ketika wajah mulai keriput dan gigi telah rapuh (tua), maka kami meninggalkannya.” Fat-hul Baari (X/354-355).
Al-Albani berkata, “Yang jelas bahwa az-Zuhri tidak mengetahui sama sekali adanya hadits yang mengharamkannya, dia berpendapat hanya dengan perasaannya saja, bagaimana pun keadaannya, perkataan atau perbuatan seseorang bukanlah hujjah setelah adanya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, hadits terdahulu merupakan hujjah yang membatalkan pendapat az-Zuhri juga yang lainnya.” Ghaayatul Maraam (hal. 84).
[4] (اَلثُّغَامَةُ) dengan tsa yang didhammahkan dan ghin yang berharakat: pohon yang sangat putih bunga dan buahnya, ada juga yang mengatakan pohon yang sangat putih bagaikan salju.
Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (I/214), dan Fat-hul Baari (X/355).
[5]. Shahiih Muslim, kitab al-Libaas waz Ziinah bab Istihbaabu Khidhaabis Syaib bi Shufratin au Humratin wa Tahriimuhu bis Sawaad (XIV/79, Syarh an-Nawawi).
28. TERSEBARNYA KEBAKHILAN DAN KEKIKIRAN
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَظْهَرَ الشُّحُّ.
‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah tersebarnya kekikiran.’” [1]
Diriwayatkan dari beliau pula, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ وَيُلْقَى الشُّحُّ.
“Zaman saling berdekatan, amal berkurang dan kekikiran dilemparkan (ke dalam hati).” [2]
Diriwayatkan dari Mu’awiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزْدَادُ اْلأَمْرُ إِلاَّ شِدَّةً، وَلاَ يَزْدَادُ النَّـاسُ إِلاَّ شُحًّا.
“Segala urusan tidak akan bertambah kecuali semakin sulit, dan manusia tidak akan bertambah kecuali semakin kikir.”[3]
Kikir adalah akhlak tercela yang dilarang oleh Islam. Islam menjelaskan bahwa siapa saja yang dijaga dari kekikiran jiwanya, maka sungguh ia telah sukses dan beruntung, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“… Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [Al-Hasyr: 9 dan ath-Thaghaabun: 16]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ، فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ، وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ.
“Jagalah diri kalian dari kezhaliman, karena kezhaliman adalah kegelapan pada hari Kiamat, dan jagalah diri kalian dari kekikiran, karena kekikiran telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian, kekikiran itulah yang telah mendorong mereka untuk saling menumpahkan darah dan menghalalkan apa-apa yang diharamkan bagi mereka.” [4]
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Mungkin saja kehancuran di sini adalah kehancuran yang dikabarkan tentang mereka di dunia, karena mereka saling menumpahkan darah, mungkin pula bermakna kehancuran di akhirat, yang kedua lebih jelas, bisa juga maknanya adalah menghancurkan mereka di dunia dan akhirat.” [5]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. HR. Ath-Thabrani dalam al-Ausath, lihat Fat-hul Baari (XIII/15).
Al-Haitsami berkata, “Perawinya adalah perawi ash-Shahiih, selain Muhammad bin al-Harits bin Sufyan, ia adalah tsiqah.” Majma’uz Zawaa-id (VII/327).
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan, bab Zhuhuurul Fitan (XIII/13, al-Fat-h).
[3]. HR. Ath-Thabrani. Perawi beliau adalah perawi ash-Shahiih (Majma’uz Zawaa-id VIII/14).
[4]. Shahiih Muslim, kitab al-Birr wash Shilah wal Aadaab, bab Tahriimuz Zhulmi (XVI/134, Syarh an-Nawawi).
[5]. Syarah an-Nawawi li Shahiih Muslim (XVI/134).